Tuesday, June 12, 2012

Di Balik Amalan Sedikit tapi Terus Menerus

 "Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit." [HR. Muslim no. 782]
 
 Di Balik Amalan Sedikit tapi Kontinue

kami ringkas dari Artikel Rumaysho.Com :: al-Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal

Pada kesempatan kali ini, kami akan mengangkat pembahasan yang cukup menarik yaitu bagaimana seharusnya kita beramal. Apakah amalan kita haruslah banyak? Ataukah lebih baik amalan kita itu rutin walaupun sedikit? Itulah yang akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca pada tulisan yang sederhana ini. Hanya Allah yang senantiasa memberi segala kemudahan.


TANDA DITERIMANYA AMAL
Saudaraku ... Perlulah engkau ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila amalan tersebut membuahkan amalan ketaatan berikutnya. Di antara bentuknya adalah apabila amalan tersebut dilakukan secara kontinu (rutin). Sebaliknya tanda tertolaknya suatu amalan (alias tidak diterima), apabila amalan tersebut malah membuahkan kejelekan setelah itu. Sebagian ulama salaf mengatakan,

مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”
[Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 8/417, Daar Thoyyibah, cetakan kedua, 1420 H ]


PENTINGNYA MERUTINKAN AMALAN WALAU SEDIKIT
Dari ’Aisyah -radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

أَحَبُّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى أَدْوَمُهَا وَإِنْ قَلَّ

”Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”
HR. Muslim no. 783, Kitab shalat para musafir dan qasharnya, Bab Keutamaan amalan shalat malam yang kontinu dan amalan lainnya]
 
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ عَلَيْكُمْ مِنَ الأَعْمَالِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لاَ يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الأَعْمَالِ إِلَى اللَّهِ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّ

”Wahai sekalian manusia, lakukanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian. Karena Allah tidaklah bosan sampai kalian merasa bosan. (Ketahuilah bahwa) amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah amalan yang kontinu (ajeg) walaupun sedikit.” [HR. Muslim no. 782]


HIKMAH MERUTINKAN AMALAN

Pertama, melakukan amalan yang sedikit namun kontinu akan membuat amalan tersebut langgeng, artinya akan terus tetap ada.

An Nawawi rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun rutin dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit yang rutin dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.” [Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/133, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah]

Kedua, amalan yang kontinu akan terus mendapat pahala. Berbeda dengan amalan yang dilakukan sesekali saja –meskipun jumlahnya banyak-, maka ganjarannya akan terhenti pada waktu dia beramal. Bayangkan jika amalan tersebut dilakukan terus menerus, maka pahalanya akan terus ada walaupun amalan yang dilakukan sedikit. 

Namun perlu diketahui bahwa apabila seseorang meninggalkan amalan sholih yang biasa dia rutinkan karena alasan sakit, sudah tidak mampu lagi melakukannya, dalam keadaan bersafar atau udzur syar’i lainnya, maka dia akan tetap memperoleh ganjarannya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seseorang sakit atau melakukan safar, maka dia akan dicatat melakukan amalan sebagaimana amalan rutin yang dia lakukan ketika mukim (tidak bepergian) dan dalam keadaan sehat.” [HR. Bukhari no. 2996]

Ketiga, amalan yang sedikit tetapi kontinu akan mencegah masuknya virus ”futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit. 

Kadang kita memang mengalami masa semangat dan kadang pula futur (malas) beramal. Sehingga agar amalan kita terus menerus ada pada masa-masa tersebut, maka dianjurkanlah kita beramal yang rutin walaupun itu sedikit. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

وَلِكُلِّ عَمِلٍ شِرَّةٌ ، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةٌ ، فَمَنْ يَكُنْ فَتْرَتُهُ إِلَى السُّنَّةِ ، فَقَدِ اهْتَدَى ، وَمَنْ يَكُ إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ ، فَقَدْ ضَلَّ

”Setiap amal itu pasti ada masa semangatnya. Dan setiap masa semangat itu pasti ada masa futur (malasnya). Barangsiapa yang kemalasannya masih dalam sunnah (petunjuk) Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, maka dia berada dalam petunjuk. Namun barangsiapa yang keluar dari petunjuk tersebut, sungguh dia telah menyimpang.” [HR. Thobroni dalam Al Mu’jam Al Kabir, periwayatnya shohih. Lihat Majma’ Az Zawa’id]

AMALAN YANG DIRUTINKAN
Syaikh Ibrahim Ar Ruhailiy hafizhohullah mengatakan, ”Tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, perlu kiranya kita melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dalam hal ini.” [Tajridul Ittiba’, hal. 89]

Untuk mengetahui manakah amalan yang mesti dirutinkan, dapat kita lihat pada tiga jenis amalan berikut:

PERTAMA
Amalan yang bisa dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian) dan ketika bersafar. 
Contohnya adalah puasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H), shalat sunnah qobliyah shubuh (shalat sunnah fajar), shalat malam (tahajud), dan shalat witir. Amalan-amalan seperti ini tidaklah ditinggalkan meskipun dalam keadaan bersafar.

Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berpuasa pada ayyamul biid (13, 14, 15 H) baik dalam keadaan mukim (tidak bersafar) maupun dalam keadaan bersafar.” 
[HR. An Nasa-i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Lihat Al Hadits Ash Shohihah 580.]

Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.” [Zaadul Ma’ad, 1/456]

Ibnul Qayyim juga mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan qiyamul lail (shalat malam) baik ketika mukim maupun ketika bersafar.” [Zaadul Ma’ad, 1/311]

KEDUA
Amalan yang dirutinkan ketika mukim (tidak bepergian), bukan ketika safar.
Contohnya adalah shalat sunnah rawatib selain shalat sunnah qobliyah shubuh sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim pada perkataan yang telah lewat.

KETIGA
Amalan yang kadang dikerjakan pada suatu waktu dan kadang pula ditinggalkan.
Contohnya adalah puasa selain hari Senin dan Kamis. Puasa pada selain dua hari tadi boleh dilakukan kadang-kadang, misalnya saja berpuasa pada hari selasa atau rabu.
Initinya, tidak semua amalan mesti dilakukan secara rutin, itu semua melihat pada ajaran dan petunjuk Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam.

PENUTUP
Ketika ajal menjemput, barulah amalan seseorang berakhir. Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematiannya. Lalu Al Hasan membaca firman Allah,

وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ

Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).
[Latho-if Al Ma’arif, hal. 398.]

Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.
[Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 4/79, Mawqi’ At Tafaasir, Asy Syamilah]

Ibadah seharusnya tidak ditinggalkan ketika dalam keadaan lapang karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَعَرَّفْ إِلَي اللهِ فِى الرَّخَاءِ يَعْرِفْكَ فِى الشِّدَّةِ

 “Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Allah akan mengenalimu ketika susah.”
[HR. Hakim. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Al Jami’ Ash Shogir mengatakan bahwa hadits ini shohih]

Semoga Allah menganugerahi kita amalan-amalan yang selalu dicintai oleh-Nya. Hanya Allah yang memberi taufik. Segala puji bagi Allah yang dengan segala nikmat-Nya setiap kebaikan menjadi sempurna.

Silakan download artikelnya di sini.
***
Diselesaikan di Pangukan, Sleman, Senin sore, 16 Syawwal 1430 H.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

---------------
Diringkas dan diformat ulang oleh [AHaS]